Sunday, December 28, 2008

APAKAH MEMAKAI CADAR (NIQAB/HIJAB) ITU BID'AH?

Dr. Yusuf Qardhawi

PERTANYAAN

Telah terjadi polemik dalam beberapa surat kabar di
Kairo seputar masalah "cadar" yang dipakai sebagian
remaja muslimah, khususnya para mahasiswi. Hal itu
berawal dari keputusan Pengadilan Mesir yang menangani
tuntutan mahasiswi beberapa perguruan tinggi, yang
mengajukan tuntutan ke pengadilan karena merasa
teraniaya dengan keputusan sebagian dekan yang memaksa
mereka melepas cadar apabila masuk kampus.

Para mahasiswi itu mengatakan bahwa mereka siap membuka
tutup wajah mereka manakala diperlukan, apabila ada
tuntutan dari pihak yang bertanggung jawab, pada waktu
ujian atau lainnya.

Seorang wartawan terkenal, Ustadz Ahmad Bahauddin,
menulis artikel - dalam surat kabar al-Ahram - yang
isinya bertentangan dengan keputusan pengadilan.
Menurutnya, cadar dan penutup wajah itu merupakan
bid'ah yang masuk ke kalangan Islam dan umat Islam. Hal
ini diperkuat oleh salah seorang dosen al-Azhar, yang
mengaku bahwa dirinya adalah Dekan Fakultas Ushuluddin,
dan sedikit banyak tahu tentang peradilan.

Kami mohon Ustadz berkenan menjelaskan tentang masalah
yang masih campur aduk antara yang hak dan yang batil
ini. Semoga Allah berkenan memberikan balasan kepada
Ustadz dengan balasan yang sebaik-baiknya.

JAWABAN

Alhamdulillah, segala puji kepunyaan Allah, Rabb
semesta alam. Semoga shalawat dan salam senantiasa
tercurahkan kepada Rasul paling mulia, junjungan kita
Nabi Muhammad saw., kepada keluarganya, dan para
sahabatnya.

Pada kenyataannya, mengidentifikasi cadar sebagai
bid'ah yang datang dari luar serta sama sekali bukan
berasal dari agama dan bukan dari Islam, bahkan
menyimpulkan bahwa cadar masuk ke kalangan umat Islam
pada zaman kemunduran yang parah, tidaklah ilmiah dan
tidak tepat sasaran. Identifikasi seperti ini hanyalah
bentuk perluasan yang merusak inti persoalan dan hanya
menyesatkan usaha untuk mencari kejelasan masalah yang
sebenarnya.

Satu hal yang tidak akan disangkal oleh siapa pun yang
mengetahui sumber-sumber ilmu dan pendapat ulama, bahwa
masalah tersebut merupakan masalah khilafiyah. Artinya,
persoalan apakah boleh membuka wajah atau wajib
menutupnya - demikian pula dengan hukum kedua telapak
tangan - adalah masalah yang masih diperselisihkan.

Masalah ini masih diperselisihkan oleh para ulama, baik
dari kalangan ahli fiqih, ahli tafsir, maupun ahli
hadits, sejak zaman dahulu hingga sekarang.

Sebab perbedaan pendapat itu kembali kepada pandangan
mereka terhadap nash-nash yang berkenaan dengan masalah
ini dan sejauh mana pemahaman mereka terhadapnya,
karena tidak didapatinya nash yang qath'i tsubut (jalan
periwayatannya) dan dilalahnya (petunjuknya) mengenai
masalah ini. Seandainya ada nash yang tegas (tidak
samar), sudah tentu masalah ini sudah terselesaikan.

Mereka berbeda pendapat dalam menafsirkan firman Allah:

"... Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka
kecuali yang biasa tampak daripadanya ..." (an-Nur: 31)

Mereka meriwayatkan dari Ibnu Mas'ud, dia berkata bahwa
yang dimaksud dengan "kecuali apa yang biasa tampak
daripadanya" ialah pakaian dan jilbab, yakni pakaian
luar yang tidak mungkin disembunyikan.

Mereka juga meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa beliau
menafsirkan "apa yang biasa tampak" itu dengan celak
dan cincin. Penafsiran yang sama juga diriwayatkan dari
Anas bin Malik. Dan penafsiran yang hampir sama lagi
diriwayatkan dari Aisyah. Selain itu, kadang-kadang
lbnu Abbas menyamakan dengan celak dan cincin, terhadap
pemerah kuku, gelang, anting-anting, atau kalung.

Ada pula yang menganggap bahwa yang dimaksud dengan
"perhiasan" disini ialah tempatnya. Ibnu Abbas berkata,
"(Yang dimaksud ialah) bagian wajah dan telapak
tangan." Dan penafsiran serupa juga diriwayatkan dari
Sa'id bin Jubair, Atha', dan lain-lain.

Sebagian ulama lagi menganggap bahwa sebagian dari
lengan termasuk "apa yang biasa tampak" itu.

Ibnu Athiyah menafsirkannya dengan apa yang tampak
secara darurat, misalnya karena dihembus angin atau
lainnya.1

Mereka juga berbeda pendapat dalam menafsirkan firman
Allah:

"Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak
perempuanmu dan istri-isti orang mukmin, 'Hendaklah
mereka, mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.'
Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk
dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah
adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (al-Ahzab:
59)

Maka apakah yang dimaksud dengan "mengulurkan jilbab"
dalam ayat tersebut?

Mereka meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang merupakan
kebalikan dari penafsirannya terhadap ayat pertama.
Mereka meriwayatkan dari sebagian tabi'in - Ubaidah
as-Salmani - bahwa beliau menafsirkan "mengulurkan
jilbab" itu dengan penafsiran praktis (dalam bentuk
peragaan), yaitu beliau menutup muka dan kepala beliau,
dan membuka mata beliau yang sebelah kiri. Demikian
pula yang diriwayatkan dari Muhammad Ka'ab al-Qurazhi.

Tetapi penafsiran kedua beliau ini ditentang oleh
Ikrimah, maula (mantan budak) Ibnu Abbas. Dia berkata,
"Hendaklah ia (wanita) menutup lubang (pangkal)
tenggorokannya dengan jilbabnya, dengan mengulurkan
jilbab tersebut atasnya."

Sa'id bin Jubair berkata, "Tidak halal bagi wanita
muslimah dilihat oleh lelaki asing kecuali ia
mengenakan kain di atas kerudungnya, dan ia
mengikatkannya pada kepalanya dan lehernya."2

Dalam hal ini saya termasuk orang yang menguatkan
pendapat yang mengatakan bahwa wajah dan kedua telapak
tangan bukan aurat dan tidak wajib bagi wanita muslimah
menutupnya. Karena menurut saya, dalil-dalil pendapat
ini lebih kuat daripada pendapat yang lain.

Disamping itu, banyak sekali ulama zaman sekarang yang
sependapat dengan saya, misalnya Syekh Muhammad
Nashiruddin al-Albani dalam kitabnya Hijabul Mar'atil
Muslimah fil-Kitab was-Sunnah dan mayoritas ulama
al-Azhar di Mesir, ulama Zaitunah di Tunisia,
Qarawiyyin di Maghrib (Maroko), dan tidak sedikit dari
ulama Pakistan, India, Turki, dan lain-lain.

Meskipun demikian, dakwaan (klaim) adanya ijma' ulama
sekarang terhadap pendapat ini juga tidaklah benar,
karena di kalangan ulama Mesir sendiri ada yang
menentangnya.

Ulama-ulama Saudi dan sejumlah ulama negara-negara
Teluk menentang pendapat ini, dan sebagai tokohnya
adalah ulama besar Syekh Abdul Aziz bin Baz.

Banyak pula ulama Pakistan dan India yang menentang
pendapat ini, mereka berpendapat kaum wanita wajib
menutup mukanya. Dan diantara ulama terkenal yang
berpendapat demikian ialah ulama besar dan da'i
terkenal, mujaddid Islam yang masyhur, yaitu al-Ustadz
Abul A'la al-Maududi dalam kitabnya al-Hijab.

Adapun diantara ulama masa kini yang masih hidup yang
mengumandangkan wajibnya menutup muka bagi wanita ialah
penulis kenamaan dari Suriah, Dr. Muhammad Sa'id
Ramadhan al-Buthi, yang mengemukakan pendapat ini dalam
risalahnya Ilaa Kulli Fataatin Tu'minu billaahi (Kepada
setiap Remaja Putri yang Beriman kepada Allah) .

Disamping itu, masih terus saja bermunculan
risalah-risalah dan fatwa-fatwa dari waktu ke waktu
yang menganggap aib jika wanita membuka wajah. Mereka
menyeru kaum wanita dengan mengatasnamakan agama dan
iman agar mereka mengenakan cadar, dan menganjurkan
agar jangan patuh kepada ulama-ulama "modern" yang
ingin menyesuaikan agama dengan peradaban modern.
Barangkali mereka memasukkan saya kedalam kelompok
ulama seperti ini.

Jika dijumpai diantara wanita-wanita muslimah yang
merasa mantap dengan pendapat ini, dan menganggap
membuka wajah itu haram, dan menutupnya itu wajib, maka
bagaimana kita akan mewajibkan kepadanya mengikuti
pendapat lain, yang dia anggap keliru dan bertentangan
dengan nash?

Kami hanya mengingkari mereka jika mereka memasukkan
pendapatnya kepada orang lain, dan menganggap dosa dan
fasik terhadap orang yang menerapkan pendapat lain itu,
serta menganggapnya sebagai kemunkaran yang wajib
diperangi, padahal para ulama muhaqiq telah sepakat
mengenai tidak bolehnya menganggap munkar terhadap
masalah-masalah ijtihadiyah khilafiyah.

Kalau kami mengingkari (menganggap munkar) pelaksanaan
pendapat yang berbeda dengan pendapat kami - yaitu
pendapat yang muttabar dalam bingkai fiqih Islam yang
lapang - kemudian mencampakkan pendapat tersebut dan
tidak memberinya hak hidup, hanya semata-mata karena
berbeda dengan pendapat kami, berarti kami terjatuh
kedalam hal yang terlarang, yang justru kami perangi
dan kami seru manusia untuk membebaskan diri
daripadanya.

Bahkan seandainya wanita muslimah tersebut tidak
menganggap wajib menutup muka, tetapi ia hanya
menganggapnya lebih wara' dan lebih takwa demi
membebaskan diri dari perselisihan pendapat, dan dia
mengamalkan yang lebih hati-hati, maka siapakah yang
akan melarang dia mengamalkan pendapat yang lebih
hati-hati untuk dirinya dan agamanya? Dan apakah pantas
dia dicela selama tidak mengganggu orang lain, dan
tidak membahayakan kemaslahatan (kepentingan) umum dan
khusus?

Saya mencela penulis terkenal Ustadz Ahmad Bahauddin
yang menulis masalah ini dengan tidak merujuk kepada
sumber-sumber tepercaya, lebih-lebih tulisannya ini
dimaksudkan sebagai sanggahan terhadap putusan
pengadilan khusus yang bergengsi. Sementara kalau dia
menulis masalah politik, dia menulisnya dengan cermat,
penuh pertimbangan, dan dengan pandangan yang
menyeluruh.

Boleh jadi karena dia bersandar pada sebagian
tulisan-tulisan ringan yang tergesa-gesa dan sembarang
yang membuatnya terjatuh ke dalam kesalahan sehingga
dia menganggap "cadar" sebagai sesuatu yang munkar, dan
dikiaskannya dengan "pakaian renang" yang sama-sama
tidak memberi kebebasan pribadi.

Tidak seorang pun ulama dahulu dan sekarang yang
mengharamkan memakai cadar bagi wanita secara umum,
kecuali hanya pada waktu ihram. Dalam hal ini mereka
hanya berbeda pendapat antara yang mengatakannya wajib,
mustahab, dan jaiz.

Sedangkan tentang keharamannya, tidak seorang pun ahli
fiqih yang berpendapat demikian, bahkan yang
memakruhkannya pun tidak ada. Maka saya sangat heran
kepada Ustadz Bahauddin yang mengecam sebagian ulama
al-Azhar yang mewajibkan menutup muka (cadar) sebagai
telah mengharamkan apa yang dihalalkan Allah, atau
sebagai pendapat orang yang tidak memiliki kemajuan dan
pengetahuan yang mendalam mengenai Al-Qur'an,
as-Sunnah, fiqih, dan ushul Fiqih.

Kalau hal itu hanya sekadar mubah - sebagaimana
pendapat yang saya pilih, bukan wajib dan bukan pula
mustahab - maka merupakan hak bagi muslimah untuk
membiasakannya, dan tidak boleh bagi seseorang untuk
melarangnya, karena ia cuma melaksanakan hak
pribadinya. Apalagi, dalam membiasakan atau
mengenakannya itu tidak merusak sesuatu yang wajib dan
tidak membahayakan seseorang. Ada pepatah Mesir yang
menyindir orang yang bersikap demikian:

"Seseorang bertopang dagu, mengapa Anda kesal
terhadapnya?"

Hukum buatan manusia sendiri mengakui hak-hak
perseorangan ini dan melindunginya.

Bagaimana mungkin kita akan mengingkari wanita muslimah
yang komitmen pada agamanya dan hendak memakai cadar,
sementara diantara mahasiswi-mahasiswi di perguruan
tinggi itu ada yang mengenakan pakaian mini, tipis,
membentuk potongan tubuhnya yang dapat menimbulkan
fitnah (rangsangan), dan memakai bermacam-macam
make-up, tanpa seorang pun yang mengingkarinya, karena
dianggapnya sebagai kebebasan pribadi. Padahal pakaian
yang tipis, yang menampakkan kulit, atau tidak menutup
bagian tubuh selain wajah dan kedua tangan itu
diharamkan oleh syara' demikian menurut kesepakatan
kaum muslim.

Kalau pihak yang bertanggung jawab di kampus melarang
pakaian yang seronok itu, sudah tentu akan didukung
oleh syara' dan undang-undang yang telah menetapkan
bahwa agama resmi negara adalah Islam, dan bahwa
hukum-hukum syariat Islam merupakan sumber pokok
perundang-undangan.

Namun kenyataannya, tidak seorang pun yang melarangnya!

Sungguh mengherankan! Mengapa wanita-wanita yang
berpakaian tetapi telanjang, yang berlenggak-lenggok
dan bergaya untuk memikat orang lain kepada kemaksiatan
dibebaskan saja tanpa ada seorang pun yang menegurnya?
Kemudian mereka tumpahkan seluruh kebencian dan celaan
serta caci maki terhadap wanita-wanita bercadar, yang
berkeyakinan bahwa hal itu termasuk ajaran agama yang
tidak boleh disia-siakan atau dibuat sembarang?

Kepada Allah-lah kembalinya segala urusan sebelum dan
sesudahnya. Tidak ada daya untuk menjauhi kemaksiatan
dan tidak ada kekuatan untuk melakukan ketaatan kecuali
dengan pertolongan

Catatan kaki:
1 Lihat penafsiran ayat ini oleh Ibnu Jarir,
Ibnu Katsir, al-Qurthubi, dan pada ad-Durrul
Mantsur (5: 41-42), dan lain-lain.
2 Lihat: ad-Durrul Mantsur, 5: 221-222,
dan sumber-sumber terdahulu mengenai penafsiran
ayat tersebut.

-----------------------
Fatwa-fatwa Kontemporer
Dr. Yusuf Qardhawi

2 comments:

  1. MUKTAMAR VIII NAHDLATUL ULAMA (NU)
    Keputusan Masalah Diniyyah Nomor : 135 / 12 Muharram 1352 H / 7 Mei 1933
    Tentang
    HUKUM KELUARNYA WANITA DENGAN
    TERBUKA WAJAH DAN KEDUA TANGANNYA

    Pertanyaan :
    Bagaimana hukumnya keluarnya wanita akan bekerja dengan terbuka muka dan kedua tangannya? Apakah HARAM atau Makruh? Kalau dihukumkan HARAM, apakah ada pendapat yang menghalalkan? Karena demikian itu telah menjadi Dharurat, ataukah tidak? (Surabaya)

    Jawaban :
    Hukumnya wanita keluar yang demikian itu HARAM, menurut pendapat yang Mu’tamad ( yang kuat dan dipegangi - penj ).
    Menurut pendapat yang lain, boleh wanita keluar untuk jual-beli dengan terbuka muka dan kedua tapak tangannya, dan menurut Mazhab Hanafi, demikian itu boleh, bahkan dengan terbuka kakinya, APABILA TIDAK ADA FITNAH.

    Keterangan :

    (a) Kitab Maraqhil-Falah Syarh Nurul-Idlah (yang membolehkan):

    (وَجَمِيْعُ بَدَنِ الْحُرَّةِ عَوْرَةٌ إلاَّ وَجْهَهَا وَكَفََّّيْهَا). بَاطِنَهُمَا وَظَاهِرَهُمَا فِيْ اْلأَصَحِّ وَهُوَ الْمُخْتَارُ. وَ ذِرَاعُ الْحُرَّةِ عَوْرَةٌ فِيْ ظَاهِرِ الرِّوَايَةِ وَهِيَ اْلأَصَحُّ. وَعَنْ أَبِيْ حَنِيْفَةَ لَيْسَ بِعَوْرَةٍ (وَ) إِلاَّ (قَدَمَيْهَا) فِيْ أَصَحِّ الرِّوَايَتَيْنِ بَاطِنِهِمَا وَظَاهِرِهِمَا الْعُمُوْمِ لِضَرُوْرَةِ لَيْسَا مِنَ الْعَوْرَةِ فَشَعْرُ الْحُرَّةِ حَتىَّ الْمُسْتَرْسَلِ عَوْرَةٌ فِيْ اْلأَصَحِّ وَعَلَيْهِ الْفَتَوَي

    Seluruh anggota badan wanita merdeka itu aurat kecuali wajah dan kedua telapak tangannya, baik bagian dalam maupun luarnya, menurut pendapat yang tersahih dan dipilih. Demikian pula lengannya termasuk aurat. Berbeda dengan pendapat Abu Hanifah yang tidak menganggap lengan tersebut sebagai aurat. Menurut salah satu riwayat yang sahih, kedua telapak kaki wanita itu tidak termasuk aurat baik bagian dalam maupun bagian luarnya. Sedangkan rambutnya sampai bagian yang menjurai sekalipun, termasuk aurat, demikian fatwa atasnya.

    (b) Kitab Bajuri Hasyiah Fatchul-Qarib Jilid. II Bab Nikah (yang mengharamkan) :

    (قَوْلُهُ إِلىَ أَجْنَـبِّيَةِ) أَي إِلىَ شَيْءٍ مِنْ اِمْرَأَةٍ أَجْنَـبِّيَّةٍ أَي غَيْرِ مَحْرَمَةٍ وَلَوْ أَمَةً وَشَمِلَ ذَلِكَ وَجْهَهَا وَكَفََّّيْهَا فَيَحْرُمُ النَّظَرُ إِلَيْهَا وَلَوْ مِنْ غَيْرِ شَهْوَةٍ أَوْ خَوْفٍ فِتْنَةٍ عَلىَ الصَّحِيْحِ كَمَا فِيْ الْمِنْحَاجِ وَغَيْرِهِ إِلىَ أَنْ قَالَ وَقِيْلَ لاَ يَحْرُمُ لِقَوْلِهِ تَعَالَى " وَلاَ يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا" وَهُوَ مُفَسَّرٌ بِالْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ وَالْمُعْتَمَدُ اْلأَوَّلُ. وَلاَ بَأْسَ بِتَقْلِيْدِ الْـثَانِيْ لاَسِيَّمَا فِيْ هَذَا الزَّمَانِ الَّذِيْ كَثُرَ فِيْهِ خُوْرُجُ النِّسَاءِ فِيْ الطُّرُقِ وَاْلأَسْوَاقِ وَشَمِلَ ذَلِكَ أَيْضًا شَعْرَهَا وَظَفْرَهَا.

    (PENDAPAT PERTAMA) (Perkataannya atas yang bukan mahram / asing) yakni, pada segala sesuatu pada diri wanita yang bukan mahramnya walaupun budak termasuk wajah dan kedua telapak tangannya, maka haram melihat semua itu walaupun tidak disertai syahwat ataupun kekhawatiran timbulnya adanya fitnah sesuai pendapat yang sahih sebagaimana yang tertera dalam kitab al-Minhaj dan lainnya.

    PENDAPAT LAIN (KEDUA) menyatakan atau dikatakan (qila) tidak haram sesuai dengan firman Allah “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak dari padanya” (QS.An-Nuur : 31).
    [ Penjelasan: Istilah “qila” ( = dikatakan) dinyatakan dengan bentuk kalimat pasif biasa digunakan oleh para ulama ahli hadits untuk menunjukkan bahwa riwayat dan pendapat itu lemah.]

    PENDAPAT PERTAMA (yang mengharamkan) lebih sahih, dan tidak perlu mengikuti pendapat kedua (yang tidak mengharamkan) terutama pada masa kita sekarang ini di mana banyak wanita keluar di jalan-jalan dan pasar-pasar. Keharaman ini juga mencakup rambut dan kuku.

    Lihat : Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004 M), Lajnah Ta’lif Wan Nasyr (LTN) NU Jawa Timur, Pebruari 2007.

    ReplyDelete
  2. بسم الله الرحمن الرحيم
    CADAR DI DALAM KITAB-KITAB PESANTREN INDONESIA
    Oleh: Ummu Ashhama Zeedan (Mrs. Novita Kartikasari, SS, MPd.)

    ا لحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى آله و صحبه أجمعين و من تبعهم بإحسان إلى يوم الدين و بعد،


    Masih banyak orang Islam di Indonesia yang memandang cadar sebagai barang aneh dan cenderung menilainya secara negatif. Wanita muslimah yang mengenakannya sering dituduh secara ekstrim sebagai pengikut aliran sesat atau aliran sempalan yang eksklusif. Padahal terminologi cadar sudah dikenal oleh kalangan santri di pondok-pondok pesantren kita yang menunjukkan bahwa cadar bukanlah barang baru, asing, apalagi dikatakan sebagai bukan ajaran Islam. Hanya saja banyak dari mereka yang membaca, namun tidak mau menyampaikan (menjelaskan) hal ini kepada umat. Atau juga banyak dari mereka yang membaca namun tidak mau mengamalkannya.
    Memang ulama berbeda pendapat tentang hukum cadar ini, dari yang mewajibkan hingga yang mengatakan mandub (dianjurkan) bila wajah perempuan itu dapat menimbulkan fitnah syahwat. Namun tidak ada satupun yang mengatakan bahwa pemakai cadar adalah aliran sesat atau sempalan. Berikut ini adalah terminologi cadar di dalam sebagian kitab-kitab yang dikenal dan digunakan oleh kalangan muslimin Indonesia, yaitu:

    1. Kitab Tafsir al-Qur’an dan Terjemahnya , dikeluarkan oleh Tim Tashhih Departemen Agama RI.
    Tafsir surat Al-Ahzaab : 59 tentang makna jilbab , يُدْنِــينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلاَبِيبِهِنَّ (...Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka . ..),
    yaitu: Jilbab adalah sejenis baju kurung yang lapang yang dapat menutup kepala, muka dan dada.

    2. Kitab Tafsir ath-Thabari ditulis oleh Al-Imam Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib ath-Thabari رحمه الله . Kitab tafsir ini adalah kitab referensi yang sangat dikenal di dunia Islam. Pembahasan cadar di dalam kitab ini di antaranya dalam:
    a. Tafsir surat An-Nuur ayat 31 tentang إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنـْهَا
    (... kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.), yaitu :
    يَقُول تَعَالَى ذِكْره : وَلاَ يُظْهِرْنَ لِلنَّاسِ الَّذِينَ لَيْسُوا لَهُنَّ بِمَحْرَمٍ زِينَتهنَّ , وَهُمَا زِينَتَانِ : إِحْدَاهُمَا : مَا خَفِيَ , وَذَلِكَ كَالْخَلْخَالِ وَالسِّوَارَيْنِ وَالْقُرْطَيْنِ وَالْقَلَائِد . وَالاُخْرَى : مَا ظَهَرَ مِنْهَا , وَذَلِكَ مُخْتَلَف فِي الْمَعْنَى مِنْهُ بِهَذِهِ الايَة , فَكَانَ بَعْضهمْ يَقُول : زِينَة الثِّيَاب الظَّاهِرَة .
    … عَنِ ابْن مَسْعُود , قَالَ : الزِّينَة زِينَتَانِ : فَالظَّاهِرَة مِنْهَا الثِّيَاب , وَمَا خَفِيَ : الْخَلْخَالَانِ وَالْقُرْطَانِ وَالسِّوَارَانِ …عَنْ أَبِي إِسْحَاق , عَنْ أَبِي الأَحْوَص , عَنْ عَبْد اللَّه : { إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا } قَالَ : الثِّيَاب . قَالَ أَبُو إِسْحَاق : أَلاَّ تَرَى أَنَّهُ قَالَ : { خُذُوا زِينَتكُمْ عِنْد كُلّ مَسْجِد } ؟ .

    Allah  berfirman: Janganlah menampakkan perhiasan mereka kepada manusia selain mahramnya. Perhiasan itu ada dua: yang disembunyikan, yaitu seperti: gelang kaki, dua gelang tangan, dua anting-anting dan kalung. Dan yang kedua adalah yang biasa tampak –ada perbedaan pendapat tentang makna ayat dalam hal ini, dan sebagiannya mengatakan yaitu : pakaian luar.
    Dari Ibnu Ibnu Mas’ud  berkata:”Perhiasan ada dua macam: yang biasa tampak yaitu pakaian luar. Dan perhiasan yang disembunyikan yaitu: gelang kaki, dua anting-anting dan dua gelang tangan.”
    Dari Abu Ishaq dari Abu al-Ahwash dari Abdullah  berkata,” { إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنـْهَا } yaitu : pakaian.”
    Berkata Abu Ishaq,”Apakah engkau tidak melihat firman Allah : { خُذُوا زِينَتكُمْ عِنْد كُلّ مَسْجِد } “Pakailah perhiasanmu (pakaianmu) yang indah setiap memasuki masjid ?” (QS. Al-A’raf : 31)


    b. Tafsir surat Al-Ahzaab : 59 tentang makna jilbab, يُدْنِــينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلاَبِـيــبِهِنَّ (...Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka . . .) , yaitu :
    يَقُول تَعَالَى ذِكْره لِنَبِيِّهِ مُحَمَّد صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : يَا أَيّهَا النَّبِيّ قُلْ ِلأَزْوَاجِك وَبَنَاتك وَنِسَاء الْمُؤْمِنِينَ , لاَ يَتَشَبَّهْنَ بِاْلإِمَاءِ فِي لِبَاسهنَّ إِذَا هُنَّ خَرَجْنَ مِنْ بُيُوتهنَّ لِحَاجَتِهِنَّ , فَكَشَفْنَ شُعُورَهُنَّ وَوُجُوهَهُنَّ , وَلَكِنْ لِيُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبهنَّ , لِئَلاَّ يَعْرِض لَهُنَّ فَاسِق , إِذَا عَلِمَ أَنَّهُنَّ حَرَائِر بِأَذًى مِنْ قَوْل , ثُمَّ اخْتَلَفَ أَهْل التَّأْوِيل فِي صِفَة الإدْنَاء الَّذِي أَمَرَهُنَّ اللَّه بِهِ , فَقَالَ بَعْضهمْ : هُوَ أَنْ يُغَطِّينَ وُجُوهَهُنَّ وَرُءُوسَهُنَّ , فَلاَ يُبْدِينَ مِنْهُنَّ إِلاَّ عَيْنًا وَاحِدَة .

    Allah  berfirman kepada Nabinya Muhammad  : “Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu dan wanita mukminah, janganlah menyerupai budak-budak di dalam berpakaian yang jika keluar rumah untuk suatu keperluan, mereka menampakkan rambut dan wajah-wajah mereka. Akan tetapi hendaklah mengulurkan jilbab-jilbab mereka, sehingga orang-orang fasiq dapat mengenali mereka sebagai wanita merdeka dan terhindar dari gangguan dalam satu pendapat. Ahli ta’wil berbeda pendapat di dalam cara mengulurkan jilbab yang diperintahkan Allah. Maka sebagiannya mengatakan : yaitu menutupi wajah-wajah dan kepala-kepala mereka dan tidaklah menampakkannya kecuali hanya satu mata saja.”

    عَنْ عَلِيّ , عَنِ ابْن عَبَّاس , قَوْله : { يَا أَيّهَا النَّبِيّ قُلْ ِلأَزْوَاجِك وَبَنَاتك وَنِسَاء الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلاَبِيبهنَّ } أَمَرَ اللَّه نِسَاء الْمُؤْمِنِينَ إِذَا خَرَجْنَ مِنْ بُيُوتهنَّ فِي حَاجَة أَنْ يُغَطِّينَ وُجُوهَهُنَّ مِنْ فَوْق رُءُوسهنَّ بِالْجَلاَبِيبِ , وَيُبْدِينَ عَيْنًا وَاحِدَة .
    Dari Ali dari Ibnu ‘Abbas  berkata, “Allah telah memerintahkan wanita-wanita muslimah jika keluar dari rumah mereka dalam suatu keperluan untuk menutup wajah-wajah mereka (mulai) dari atas kepalanya dengan jilbabnya dan menampakkan hanya satu mata saja.”

    عَنِ ابْن سِيرِينَ , قَالَ : سَأَلْت عُبَيْدَة , عَنْ قَوْله : { قُلْ ِلأَزْوَاجِك وَبَنَاتك وَنِسَاء الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلاَبِيبهنَّ } قَالَ : فَقَالَ بِثَوْبِهِ , فَغَطَّى رَأْسَهُ وَوَجْهَهُ , وَأَبْرَزَ ثَوْبَهُ عَنْ إِحْدَى عَيْنَيْهِ . وَقَالَ آخَرُونَ : بَلْ أُمِرْنَ أَنْ يَشْدُدْنَ جَلاَبِيبهنَّ عَلَى جِبَاههنَّ .
    Dari Ibnu Sirrin berkata,“Aku bertanya kepada Ubaidah tentang firman Allah  : { قُلْ ِلأَزْوَاجِك وَبَنَاتك وَنِسَاء الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلاَبِيبهنَّ}, maka iapun (mencontohkan) dengan pakaiannya, kemudian menutup kepala dan wajahnya serta hanya menampakkan salah satu matanya.”
    Dan berkata yang selainnya,”Bahkan diperintahkan kepada mereka agar mengikatkan (mengencangkan) jilbab- jilbabnya itu di dahi-dahi mereka.”


    3. Kitab Tafsir Ibnu Katsir ditulis oleh Al-Imam Imaduddin Abu al-Fida bin Umar bin Katsir ad-Dimasyiqi al-Qurasyi as-Syafi’i رحمه الله . Kitab tafsir ini adalah referensi yang sangat terkenal di seluruh dunia dan di pondok-pondok pesantren Indonesia sejak masa dahulu. Pembahasan cadar di dalam kitab ini di antaranya dalam:
    a. Tafsir surat An-Nuur ayat 31 tentang إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنـْهَا (... kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.) :

    أَيْ لاَ يُظْهِرْنَ شَيْئًا مِنْ الزِّينَة لِلأَجَانِبِ إِلاَّ مَا لاَ يُمْكِن إِخْفَاؤُهُ. قَالَ اِبْن مَسْعُود : كَالرِّدَاءِ وَالثِّيَاب يَعْنِي عَلَى مَا كَانَ يَتَعَاطَاهُ نِسَاء الْعَرَب مِنْ الْمِقْنَعَة الَّتِي تُجَلِّل ثِيَابهَا وَمَا يَبْدُو مِنْ أَسَافِل الثِّيَاب ,فَلاَ حَرَج عَلَيْهَا فِيهِ ِلأَنَّ هَذَا لاَ يُمْكِنهَا إِخْفَاؤُهُ وَنَظِيره فِي زِيّ النِّسَاء مَا يَظْهَر مِنْ إِزَارهَا وَمَا لاَ يُمْكِن إِخْفَاؤُهُ . . . عَنْ اِبْن عَبَّاس : " وَلاَ يُبْدِينَ زِينَتهنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا " قَالَ : وَجْههَا وَكَفَّيْهَا وَالْخَاتَم ... وَيُحْتَمَل أَنَّ اِبْن عَبَّاس وَمَنْ تَابَعَهُ أَرَادُوا تَفْسِير مَا ظَهَرَ مِنْهَا بِالْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ وَهَذَا هُوَ الْمَشْهُور عِنْد الْجُمْهُور وَيُسْتَأْنَس لَهُ بِالْحَدِيثِ الَّذِي رَوَاهُ أَبُو دَاوُد فِي سُنَنه... عَنْ عَائِشَة رَضِىَ اللَّه عَنْهَا أَنَّ أَسْمَاء بِنْت أَبِي بَكْر دَخَلَتْ عَلَى النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهَا ثِيَاب رِقَاق فَأَعْرَضَ عَنْهَا وَقَالَ : " يَا أَسْمَاء إِنَّ الْمَرْأَة إِذَا بَلَغَتْ الْمَحِيض لَمْ يَصْلُح أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلاَّ هَذَا" وَأَشَارَ إِلَى وَجْهه وَكَفَّيْهِ لَكِنْ قَالَ أَبُو دَاوُد وَأَبُو حَاتِم الرَّازِيّ هُوَ مُرْسَل .خَالِد بْن دُرَيْك لَمْ يَسْمَع مِنْ عَائِشَة رَضِىَ اللَّه عَنْهَا وَاَللَّه أَعْلَم .

    Yaitu, tidak menampakkan sesuatu apapun dari perhiasannya kepada laki-laki asing (bukan mahram) kecuali apa-apa yang tidak mungkin lagi disembunyikan. Berkata Ibnu Mas’ud , ”yaitu seperti rida’ dan pakaian, yakni seperti yang dipakai di kalangan wanita Arab berupa mukena’ - yang menyelubungi pakaiannya dan menutupi apa yang terlihat di bagian bawahnya - , maka tidak mengapa hal tersebut (mukena’) terlihat karena memang tidaklah mungkin disembunyikan lagi sebagaimana kain sarung . . .”
    …Dari Ibnu Abbas  berkata,”kecuali wajah, kedua telapak tangan dan cincin.” …Dan kemungkinan bahwa Ibnu Abbas dan mereka yang mengikutinya menghendaki penafsiran “apa yang biasa tampak” sebagai wajah dan kedua telapak tangan – pendapat ini masyhur di banyak kalangan - dan didengar pula dari hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud di dalam Sunan-nya…dari Aisyah رَضِىَ اللَّه عَنْهَا bahwa Asma’ binti Abu Bakar masuk menemui Nabi  dengan pakaian yang tipis. Maka Nabi  berpaling darinya dan bersabda,” Wahai Asma’ , sesungguhnya seorang wanita bila telah haidh maka tidak boleh terlihat darinya kecuali ini.” Dan beliau mengisyaratkan wajah dan telapak tangannya.”
    Namun justru Abu Dawud -periwayat hadits ini - dan Abu Hatim ar-Razi berkata bahwa hadits ini mursal. Hal ini karena Kholid bin Duraik tidak pernah mendengar dari Aisyah رَضِىَ اللَّه عَنْهَا. Wallahu ‘alam.


    b. Tafsir surat Al-Ahzaab : 59 tentang makna jilbab, يُدْنِــينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلاَبِـيــبِهِنَّ (…Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka…) , yaitu :

    وَالْجِلْبَاب هُوَ الرِّدَاء فَوْق الْخِمَار قَالَهُ اِبْن مَسْعُود وَعَبِيدَة وَقَتَادَة وَالْحَسَن الْبَصْرِيّ وَسَعِيد بْن جُبَيْر وَإِبْرَاهِيم النَّخَعِيّ وَعَطَاء الْخُرَاسَانِيّ وَغَيْر وَاحِد وَهُوَ بِمَنْزِلَةِ اْلإِزَار الْيَوْم... قَالَ عَلِيّ بْن أَبِي طَلْحَة عَنْ اِبْن عَبَّاس أَمَرَ اللَّه نِسَاء الْمُومِنِينَ إِذَا خَرَجْنَ مِنْ بُيُوتهنَّ فِي حَاجَة أَنْ يُغَطِّينَ وُجُوههنَّ مِنْ فَوْق رُءُوسهنَّ بِالْجَلاَبِيبِ وَيُبْدِينَ عَيْنًا وَاحِدَة .وَقَالَ مُحَمَّد بْن سِيرِينَ سَأَلْت عُبَيْدَة السَّلْمَانِيّ عَنْ قَوْل اللَّه عَزَّ وَجَلَّ " يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلاَبِيبهنَّ" فَغَطَّى وَجْهه وَرَأْسه وَأَبْرَزَ عَيْنه الْيُسْرَى. وَقَالَ عِكْرِمَة تُغَطِّي ثُغْرَة نَحْرهَا بِجِلْبَابِهَا تُدْنِيه عَلَيْهَا....عَنْ أُمّ سَلَمَة قَالَتْ لَمَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَة " يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلاَبِيبهنَّ" خَرَجَ نِسَاء الْأَنْصَار كَأَنَّ عَلَى رُءُوسهنَّ الْغِرْبَان مِنْ السَّكِينَة وَعَلَيْهِنَّ أَكْسِيَة سُود يَلْبَسْنَهَا.

    Jilbab ialah rida’ yang dikenakan di atas khimar (kerudung), demikian perkataan Ibnu Mas’ud, Ubaidah, Qatadah, Hasan al-Bashri, Sai’d ibn Jubair, Ibrahim an-Nakha’i dan Atha’ al-Khurasani. Dan ada selainnya mengatakan jilbab itu kedudukannya sama seperti kain sarung di masa kini.
    Berkata Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu ‘Abbas  : “Allah telah memerintahkan wanita-wanita muslimah jika keluar dari rumah mereka dalam suatu keperluan untuk menutup wajah-wajah mereka (mulai) dari atas kepalanya dengan jilbabnya dan menampakkan hanya satu mata saja.”.
    Berkata Muhammad Ibnu Sirrin: “Aku bertanya kepada Ubaidah as-Salmani tentang firman Allah  : يُدْنِيــنَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلاَبِيبِهِنّ , maka iapun (mencontohkan dengan ) menutup wajah dan kepalanya serta menampakkan mata kirinya.”
    Dan berkata Ikrimah,” menutupkan celah lehernya dengan jilbabnya yang terulur di atasnya.” …Dari Ummu Salamah berkata,”Ketika turun ayat ini يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلاَبِيبهنَّ , keluarlah wanita-wanita Anshar seolah-olah kepala mereka ada burung gagak karena hitamnya pakaian yang mereka kenakan.”


     Di dalam Tafsir at-Thobari dan Tafsir Ibnu Katsir terlihat ada perbedaan antara Ibnu Mas’ud  dan Ibnu Abbas  ketika menafsirkan An-Nuur ayat 31 tentang إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنـْهَا (... kecuali yang (biasa) nampak dari padanya...). Ibnu Mas’ud  menyatakan bahwa yang ditampakkan hanyalah pakaiannya saja sedangkan Ibnu Abbas  mengecualikan wajah dan telapak tangan sebagai bagian yang tidak ditutup.
    Namun ketika menafsirkan Al-Ahzaab ayat 59 tentang makna jilbab, Ibnu Abbas  tidak mengecualikan wajah dan telapak tangan! Beliau  bahkan hanya mengecualikan satu mata saja yang boleh ditampakkan!
    Maka dengan demikian kedua sahabat Nabi  -yang keduanya didoakan Nabi  sebagai ahli tafsir al-Qur’an - sama-sama sependapat bahwa wajah perempuan itu termasuk yang ditutup kecuali mata saja!

    4. Kitab Tafsir Jalalain ditulis oleh Syaikh Jalaluddin ibn Muhammad Al-Mahalli رحمه الله dan Syaikh Jalaluddin ibn Abi Bakrin as-Suyuthi رحمه الله. Kitab tafsir ini digunakan di hampir seluruh dunia dan pondok-pondok pesantren di Indonesia sejak masa dahulu. Pembahasan cadar di dalam kitab ini di antaranya dalam:
    a. Tafsir surat An-Nuur ayat 31 tentang زِينَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْـهَا (... perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.) :
    و هو الوجه و الكفان فيجوز نظره لأجنبي ان لم يخف فتنة في أحد وجهين و الثني يحرم لأنه مظنة الفتنة و رجح حسما للباب

    “wajah dan kedua telapak tangan, maka dibolehkan terlihat lelaki asing jika tidak takut terjadi fitnah; pada satu pendapat. Pada pendapat kedua diharamkan terlihat (wajah dan kedua telapak tangan) karena dapat mengundang fitnah dan (pendapat ini) kuat untuk memutus pintu fitnah tersebut.”

    b. Tafsir surat Al-Ahzaab : 59 tentang makna jilbab, يُدْنـِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلاَبِيبـهِنَّ (...Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka…), yaitu :

    جمع جلباب و هي الملاءة التي تشتمل بها المرأة أي يرخين بعصها على الوجوه اذا خرجن لحاجتهن الا عينا واحدة

    “Bentuk jamak dari jilbab, yaitu pakaian besar yang menyelubungi perempuan, yaitu menurunkan sebagiannya ke atas wajah-wajah mereka ketika keluar untuk suatu keperluan hingga tidak menampakkannya kecuali hanya satu mata saja.”

    5. Kitab Tafsir Aisar at-Tafasir ditulis oleh Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi رحمه الله, semasa hidup adalah Imam Besar Masjid Nabawi Madinah, seorang ulama yang dikenal oleh kaum muslimin Indonesia khususnya bagi jamaah haji yang berkunjung ke Madinah dan penulis kitab Minhajul Muslim (Pedoman Hidup Seorang Muslim) yang banyak dibaca kaum muslimin di Indonesia. Pembahasan cadar di antaranya dalam:
    a. Tafsir surat An-Nuur ayat 31 tentang إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْـهَا (... kecuali yang (biasa) nampak dari padanya...), yaitu :
    “Apa saja yang tidak mungkin ditutup lagi atau disembunyikan lagi seperti kedua telapak tangan ketika menerima atau memberi sesuatu atau kedua mata untuk melihat. Dan apabila di tangannya terdapat cincin dan pacar (pemerah kuku) dan pada kedua matanya terdapat celak dan pakaian yang memang sudah tampak dari kerudung-kerudung di atas kepala dan pakaian ‘abaya yang menutupi seluruh tubuh, maka hal demikian adalah dimaafkan karena memang tidak bisa ditutup lagi”.

    b. Tafsir surat Al-Ahzaab : 59 tentang makna jilbab, يُدْنِيـنَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلاَبِيبِهِنَّ (…Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka…) , yaitu :
    “menurunkan jilbab-jilbab mereka ke atas wajah-wajah mereka sehingga tidak terlihat lagi dari seorang perempuan kecuali satu mata untuk melihat jalan jika ia keluar untuk suatu keperluan.”

    6. Kitab Fiqh Al-Umm ditulis oleh al-Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i رحمه الله , ulama besar di dalam fiqh yang menjadi panutan para ulama lainnya. Cadar di antaranya disinggung di dalam:


    a. Al-Umm Kitab Thoharoh Bab Mengusap Kepala :

    ‏[‏قَالَ الشَّافِعِيُّ‏]‏‏:‏ وَإِذَا أَذِنَ اللَّهُ تَعَالَى بِمَسْحِ الرَّأْسِ ‏(‏فَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- مُعْتَمًّا فَحَسَرَ الْعِمَامَةَ‏)‏ فَقَدْ دَلَّ عَلَى أَنَّ الْمَسْحَ عَلَى الرَّأْسِ دُونَهَا وَأُحِبُّ لَوْ مَسَحَ عَلَى الْعِمَامَةِ مَعَ الرَّأْسِ وَإِنْ تَرَكَ ذَلِكَ لَمْ يَضُرَّهُ وَإِنْ مَسَحَ عَلَى الْعِمَامَةِ دُونَ الرَّأْسِ لَمْ يُجْزِئْهُ ذَلِكَ وَكَذَلِكَ لَوْ مَسَحَ عَلَى بُرْقُعٍ أَوْ قُفَّازَيْنِ دُونَ الْوَجْهِ وَالذِّرَاعَيْنِ لَمْ يُجْزِئْهُ ذَلِكَ

    “(Berkata asy-Syafi’i :) ”Dan ketika Allah membolehkan mengusap kepala saja (adalah Rasulullah  benar-benar melepas sorbannya) maka hal ini sudah cukup tegas menunjukkan bahwa mengusap kepala itu dilakukan tanpa mengusap sorban. Dan aku menyukai bila seseorang itu mengusap sorbannya beserta kepalanya. Dan jika meninggalkan hal itu maka tidak mengapa. Namun jika ia mengusap sorban saja tanpa kepalanya maka tidaklah sah wudhu’nya. Ini seperti hanya mengusap burqa (cadar) saja, atau kedua sarung tangan saja tanpa mengenai wajahnya dan kedua hastanya maka tidak sah wudhu’nya.”

    Adanya perkataan al-Imam asy-Syafi’i رحمه الله tentang burqa (cadar) dan sarung tangan sudah cukup untuk menunjukkan bahwa menutup muka dan sarung tangan telah menjadi kebiasaan wanita muslimah pada masa itu.



    b. Al-Umm Kitab Haji Bab Pakaian Apa yang Dipakai Seorang Perempuan :


    وَتُفَارِقُ الْمَرْأَةُ الرَّجُلَ فَيَكُونُ إحْرَامُهَا فِي وَجْهِهَا وَإِحْرَامُ الرَّجُلِ فِي رَأْسِهِ فَيَكُونُ لِلرَّجُلِ تَغْطِيَةُ وَجْهِهِ كُلِّهِ مِنْ غَيْرِ ضَرُورَةٍ وَلاَ يَكُونُ ذَلِكَ لِلْمَرْأَةِ وَيَكُونُ لِلْمَرْأَةِ إذَا كَانَتْ بَارِزَةً تُرِيدُ السِّتْرَ مِنْ النَّاسِ أَنْ تُرْخِيَ جِلْبَابَهَا أَوْ بَعْضَ خِمَارِهَا أَوْ غَيْرَ ذَلِكَ مِنْ ثِيَابِهَا مِنْ فَوْقِ رَأْسِهَا وَتُجَافِيهِ عَنْ وَجْهِهَا حَتَّى تُغَطِّيَ وَجْهَهَا مُتَجَافِيًا كَالسَّتْرِ عَلَى وَجْهِهَا وَلاَ يَكُونُ لَهَا أَنْ تَنْتَقِبَ

    “Perbedaan antara perempuan dengan laki-laki di dalam ihram adalah perempuan pada wajahnya dan laki-laki pada kepalanya. Laki-laki-laki boleh menutup wajahnya setiap saat tanpa ada hal darurat, akan tetapi hal ini terlarang bagi perempuan”.
    “Adapun seorang perempuan (dalam ihram) bila wajahnya dalam keadaan terbuka dan ia ingin menutupinya dari manusia; maka hendaknya ia menurunkan jilbabnya atau sebagian kerudungnya atau kain lainnya dari pakaiannya dari atas kepalanya ke depan wajahnya (tidak menempel) sehingga MENUTUPI WAJAHNYA seperti penutup pada wajah namun tidak seperti niqob (yang menempel pada wajah). ”

    Kita tahu bahwa di dalam ihram wanita tidak boleh menutup mukanya sehingga kebanyakan ulama berpendapat, wanita yang ihram wajib membuka wajah dan tangannya. Larangan ini juga mengindikasikan bahwa menutup wajah telah menjadi kebiasaan dan kewajaran bagi wanita muslimah pada masa Nabi  .
    Namun demikian, anehnya Imam asy-Syafi’i رحمه الله tetap membolehkan wanita menutupi wajahnya dari pandangan laki-laki bila dikhawatirkan terfitnah syahwat dengan cara wanita itu menutupi wajahnya dengan jilbabnya, kerudungnya atau kain dari pakaiannya di depan mukanya (tidak ditempelkan ke wajahnya).
    Larangan yang keras tidak dapat digugurkan dan dilanggar kecuali dengan perbuatan penentang yang kekuatan hukumnya sepadan dengan larangan itu. Sedangkan perkara yang wajib tidaklah dapat dilawan kecuali dengan perkara yang wajib pula. Maka kalau bukan karena kewajiban menutup wajah bagi wanita, niscaya tidak boleh meninggalkan kewajiban ini (yakni membuka wajah bagi wanita yang ihram).

    7. Kitab Fiqh Kifayatul Akhyar ditulis oleh al-Imam Taqiyuddin Abu Bakr bin Muhammad al-Husaini al-Hisni ad-Dimsyaqi asy-Syafi’i رحمه الله , seorang ulama’ masyhur mazhab Syafi’i . Kitab fiqh Kifayatul Akhyar ini digunakan di hampir seluruh dunia, di pelosok daerah dan pondok-pondok pesantren di Indonesia sejak masa dahulu. Pembahasan cadar senantiasa menghiasi kitab ini ketika membahas tentang aurat wanita; di antaranya :

    a. Pada Kitab Shalat Bab Syarat-Syarat Shalat Sebelum Mengerjakannya , yaitu :
    (وستر العورة بلباس طاهر، والوقوف على مكان طاهر). أما طهارة اللباس والمكان عن النجاسة فقد مر، وأما ستر العورة فواجب مطلقاً حتى في الخلوة والظلمة على الراجح. . . . والمرأة متنقبة إلا أن تكون في مسجد، وهناك أجانب لا يحترزون عن النظر، فإن خيف من النظر إليها ما يجر إلى الفساد حرم عليها رفع النقاب وهذا كثير في مواضع الزيارة كبيت المقدس، زاده الله تعالى شرفاً فليجتنب ذلك.
    “{Dan menutup aurat dengan pakaian yang suci, dan berdiri di tempat yang suci}. – Adapun perkara pakaian dan tempat harus suci dari najis, telah diterangkan sebelumnya. Adapun menutup aurat hukumnya wajib secara mutlak bahkan di tempat sepi sekalipun, menurut pendapat yang kuat. . . .
    Bagi wanita hukumnya WAJIB dia mengenakan penutup muka (cadar), kecuali jika berada di dalam masjid. Jika di masjid itu banyak laki-laki yang tidak mau menjaga matanya dari melihat wanita dan dikhawatirkan dapat menarik kepada kerusakan maka wanita itu HARAM membuka wajahnya.
    Dalam hal ini banyak sekali wanita yang membuka penutup wajahnya terutama di tempat-tempat ziarah seperti di Baitul Maqdis,-semoga Allah menambah kemuliaannya-, maka perbuatan semacam itu (membuka wajah) harus dijauhi.”

    b. Pada Kitab Haji Bab Hal yang Haram di Dalam Berihram, yaitu :
    ويحرم على المحرم عشرة أشياء: لبس المخيط وتغطية الرأس من الرجل والوجه من المرأة) . . . هذا كله في الرجل. وأما المرأة فالوجه في حقها كرأس الرجل وتستر جميع رأسها وبدنها بالمخيط ولها أن تستر وجهها بثوب أو خرقة بشرط ألا يمس وجهها سواء كان لحاجة أو لغير حاجة من حر أو برد أو خوف فتنة، ونحو ذلك

    …“Dan diharamkan atas orang yang berihram melakukan 10 perkara, yaitu (1) memakai pakaian yang berjahit, (2) menutup kepala bagi laki-laki dan (3) menutup muka bagi wanita.”
    “… dan itu semua bagi laki-laki, adapun wanita, maka hukum wajahnya sama dengan hukum kepala bagi laki-laki. Wanita boleh menutupi seluruh badannya dan kepalanya dengan pakaian yang berjahit. Dan juga bagi wanita agar menutupi wajahnya dengan kain atau sobekan kain, dengan syarat kain tersebut tidak menyentuh mukanya. Baik menutupi wajahnya itu karena suatu hajat, seperti kepanasan, kedinginan, atau karena takut terjadi fitnah (syahwat) dan lain-lain ataupun juga tanpa sebab hajat apapun.”

    Kita tahu bahwa di dalam ihram wanita tidak boleh menutup mukanya. Larangan ini mengindikasikan bahwa menutup wajah telah menjadi kebiasaan dan kewajaran bagi wanita muslimah pada masa Nabi . Namun demikian para ulama tetap membolehkan wanita menutup wajahnya sebagaimana tertulis di dalam kitab Kifayatul Akhyar ini. Hal ini berdasarkan hadits dari Aisyah رَضِىَ اللَّه عَنْهَا yang tertulis di dalam Musnad Ahmad 6/22894 dan Sunan Abu Dawud Kitab Manasik Bab Wanita Ihram Menutup Wajahnya , berikut ini :

    كَانَ الرُّكْبَانُ يَمُرُّونَ بِنَا وَنَحْنُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُحْرِمَاتٌ فَإِذَا حَاذَوْا بِنَا سَدَلَتْ إِحْدَانَا جِلْبَابَهَا مِنْ رَأْسِهَا عَلَى وَجْهِهَا فَإِذَا جَاوَزُونَا كَشَفْنَاهُ
    “Para pengendara kendaraan biasa melewati kami, di saat kami (para wanita) berihram bersama-sama Rasulullah . Maka jika mereka mendekati kami, salah seorang di antara kami menurunkan jilbabnya dari kepalanya kepada wajahnya. Jika mereka telah melewati kami, kami membuka wajah.”

    8. Kitab Fiqh Fathul Qarib ditulis oleh al-Imam al-Alaamah as-Syaikh Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Qasim asy-Syafi’i رحمه الله, seorang ulama’ masyhur mazhab Syafi’i . Kitab fiqh Fathul Qarib adalah kitab fiqh kecil yang digunakan di hampir seluruh dunia dan di pondok-pondok pesantren di Indonesia sejak masa dahulu. Cadar tertulis di kitab ini ketika membahas tentang aurat wanita; di antaranya :

    a. Pada Kitab Shalat Pasal Syarat-Syarat Shalat Sebelum Mengerjakannya , yaitu :
    و عورة الحرة فى الصلاة ما سوى وجهها و كفيها ظهرا و يطنا الى الكوعين أم عورة الحرة خارج الصلاة فجميع بدنها عورتها فى الخلوة كالذكر

    “Aurat perempuan merdeka di dalam shalat, yaitu sesuatu yang ada selain dari wajahnya dan kedua telapak tangannya, baik bagian atas ataupun dalamnya sampai kedua pergelangannya. Adapun auratnya perempuan yang merdeka di luar shalat ialah seluruh badannya dan di tempat sunyi auratnya sama dengan laki-laki.”

    b. Pada Kitab Shalat Pasal Perkara-Perkara yang Berbeda di Dalam Shalat antara Laki-Laki dan Perempuan
    (وجميع بدن) المرأة ( الحرة عورة الا وجهها و كفيها) وهذه عورتها فى الصلاة . أم خارج الصلاة فعورتها جميع بدنها.
    “(Seluruh badan perempuan merdeka adalah aurat kecuali wajah dan telapak tangan). Ini adalah aurat perempuan di dalam shalat. Sedangkan aurat perempuan merdeka di luar shalat ialah seluruh badannya.”

    9. Kitab Fiqh Hasyiah al-Bajuri ‘ala Fathul Qarib, ditulis oleh Imam Ibrahim al-Bajuri رحمه الله :

    (قَوْلُهُ إِلىَ أَجْنَـبِّيَةِ) أَي إِلىَ شَيْءٍ مِنْ اِمْرَأَةٍ أَجْنَـبِّيَّةٍ أَي غَيْرِ مَحْرَمَةٍ وَلَوْ أَمَةً وَشَمِلَ ذَلِكَ وَجْهَهَا وَكَفََّّيْهَا فَيَحْرُمُ النَّظَرُ إِلَيْهَا وَلَوْ مِنْ غَيْرِ شَهْوَةٍ أَوْ خَوْفٍ فِتْنَةٍ عَلىَ الصَّحِيْحِ كَمَا فِيْ الْمِنْحَاجِ وَغَيْرِهِ إِلىَ أَنْ قَالَ وَقِيْلَ لاَ يَحْرُمُ لِقَوْلِهِ تَعَالَى " وَلاَ يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا" وَهُوَ مُفَسَّرٌ بِالْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ وَالْمُعْتَمَدُ اْلأَوَّلُ. وَلاَ بَأْسَ بِتَقْلِيْدِ الْـثَانِيْ لاَسِيَّمَا فِيْ هَذَا الزَّمَانِ الَّذِيْ كَثُرَ فِيْهِ خُوْرُجُ النِّسَاءِ فِيْ الطُّرُقِ وَاْلأَسْوَاقِ وَشَمِلَ ذَلِكَ أَيْضًا شَعْرَهَا وَظَفْرَهَا.

    (PENDAPAT PERTAMA) (Perkataannya atas yang bukan mahram / asing) yakni, pada segala sesuatu pada diri wanita yang bukan mahramnya walaupun budak termasuk wajah dan kedua telapak tangannya, maka haram melihat semua itu walaupun tidak disertai syahwat ataupun kekhawatiran timbulnya adanya fitnah sesuai pendapat yang sahih sebagaimana yang tertera dalam kitab al-Minhaj dan lainnya. PENDAPAT LAIN (KEDUA) menyatakan atau dikatakan (qila) tidak haram sesuai dengan firman Allah “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak dari padanya” (QS.An-Nuur : 31).
    PENDAPAT PERTAMA (yang mengharamkan) lebih sahih, dan tidak perlu mengikuti pendapat kedua (yang tidak mengharamkan) terutama pada masa kita sekarang ini di mana banyak wanita keluar di jalan-jalan dan pasar-pasar. Keharaman ini juga mencakup rambut dan kuku. (Jilid 2 Bab Nikah).

    Apa yang tertulis pada kitab ini juga dijadikan dasar hukum cadar pada Muktamar NU ke VIII tahun 1933 di Jakarta.

    10. Keputusan Muktamar VIII Nahdlatul Ulama (NU) di Jakarta dalam Masalah Diniyyah Nomor : 135 / 12 Muharram 1352 H / 7 Mei 1933 Tentang Hukum Keluarnya Wanita Dengan Terbuka Wajah Dan Kedua Tangannya :

    Pertanyaan :
    Bagaimana hukumnya keluarnya wanita akan bekerja dengan terbuka muka dan kedua tangannya? Apakah HARAM atau Makruh? Kalau dihukumkan HARAM, apakah ada pendapat yang menghalalkan? Karena demikian itu telah menjadi Dharurat, ataukah tidak? (Surabaya)
    Jawaban :
    Hukumnya wanita keluar yang demikian itu HARAM, menurut pendapat yang Mu’tamad ( yang kuat dan dipegangi - penj ).
    Menurut pendapat yang lain, boleh wanita keluar untuk jual-beli dengan terbuka muka dan kedua tapak tangannya, dan menurut Mazhab Hanafi, demikian itu boleh, bahkan dengan terbuka kakinya, apabila tidak ada fitnah.

    Sebenarnya di dalam kitab-kitab yang telah tersebut di atas pun bila kita telisik satu persatu akan kita dapati lagi terminologi cadar di dalam bab-babnya dan pasal-pasalnya. Selain itu masih banyak lagi ratusan kitab-kitab para ulama yang membahas masalah cadar, seperti di dalam kitab Raudhah ath-Thalibin oleh Imam an-Nawawi, Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Fathul Bari oleh Ibnu Hajar al-Asqalani, Bulughul Maram, Nailul Authar, Tafsir al-Qurthubi dan sebagainya. Namun pastilah akan berlembar-lembar bila seluruhnya harus ditulis di sini.
    Dari uraian kitab-kitab di atas kita tahu bahwa tidak ada satupun dari para ulama yang mencela, menuduh ataupun menganggap bahwa cadar adalah barang baru (bid’ah), aliran sempalan atau sesat bahkan justru yang ada adalah sebaliknya: cadar telah dicontohkan para istri Nabi dan perempuan muslimah di zaman Nabi .
    Bila kita perhatikan tampaklah bahwa para ulama kita khususnya madzhab Syafi’i telah memberikan status hukum cadar dari sesuatu yang wajib hingga mandub (dianjurkan). Bahkan bila dikhawatirkan terjadi fitnah syahwat maka cenderung mewajibkannya walaupun dalam keadaan sedang berihram.
    Oleh karena itu jika telah diketahui kedudukan cadar di dalam Islam ini namun ternyata masih ada orang yang bersikap sinis, mencela, mengolok-olok, melarang atau menuduh aliran sesat maka ketahuilah bahwa orang tersebut adalah orang yang hatinya kotor, picik, sempit dan dengki terhadap Islam. Allah  berfirman :

                  (QS. Al-Baqarah : 10)
    “di hati mereka ada penyakit, lalu Allah tambah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta”
          •        •    (QS. Al-Muthaffifiin : 13-14)
    13. yang apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami, ia berkata: "Itu adalah dongengan orang-orang yang dahulu"
    14. sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka.

    Bahkan mereka selalu mengolok-olok orang beriman yang mengamalkan syariat Islam. Allah  berfirman:

    •                        •                           (QS. Al-Muthaffifiin : 29-36)
    29. Sesungguhnya orang-orang yang berdosa, adalah mereka yang menertawakan orang-orang yang beriman.
    30. dan apabila orang-orang yang beriman berlalu di hadapan mereka, mereka saling mengedip-ngedipkan matanya.
    31. dan apabila orang-orang yang berdosa itu kembali kepada kaumnya, mereka kembali dengan gembira.
    32. dan apabila mereka melihat orang-orang mukmin, mereka mengatakan: "Sesungguhnya mereka itu benar-benar orang-orang yang sesat",
    33. Padahal orang-orang yang berdosa itu tidak dikirim untuk penjaga bagi orang-orang mukmin.
    34. Maka pada hari ini, orang-orang yang beriman menertawakan orang-orang kafir,
    35. mereka (duduk) di atas dipan-dipan sambil memandang.
    36. Sesungguhnya orang-orang kafir telah diberi ganjaran terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.

    Maka dari itu hendaklah masing-masing dari kita berhati-hati di dalam bertindak dan bersikap sehingga tidak melakukan pelarangan, tuduhan atau celaan tanpa ilmu. Karena bisa jadi yang dilarang, dituduh dan dicela itu adalah ajaran agama kita sendiri yang telah disyari’atkan oleh Allah  dan RasulNya .
                 (QS. An-Nuur : 63)
    63. Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.

    Ingatlah, Allah  senantiasa akan meminta pertanggungjawaban atas pendengaran, penglihatan dan hati kita :

            •          (QS. Al-Isra” : 36)
    36. dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.

    Semoga kita senantiasa diberi petunjuk dan tambahan ilmu oleh Allah .Semoga kita diberi kekuatan oleh Allah  di dalam mengamalkan agama yang mulia ini sehingga senantiasa tegar di atas jalanNya dan tidak takut atau gentar terhadap celaan orang yang suka mencela. Semoga Allah  mengokohkan persatuan kaum muslimin sehingga tidak tercerai berai. Amin.
    و الحمد لله رب العالمين .أجمعين و صلى الله على على نبينا محمد وعلى آله و صحبه

    Selesai ditulis di Jakarta, pada Jum’at, 7 Dzulhijjah 1429 H / 5 Desember 2008.


    Ummu Ashhama Zeedan (Mrs. Novita Kartikasari, SS, MPd.)
    Penulis adalah guru senior di Ar-Rahman Islamic School Cinere Depok.

    ReplyDelete