Dipetik dari al-ahkam.net
Berbicara tentang manusia dengan posisinya sebagai makhluk sosial kita sebagai manusia yang beriman hendaklah tidak mengabaikan sebuah disiplin ilmu yang dengannya manusia dituntun dan dipimpin untuk hidup denga cara yang mulia di mana ilmu tersebut adalah Fiqh. Kedatangan Islam membawa perubahan yang sangat bererti bagi bangsa Arab dan seluruh bangsa pada umumnya. Selain mengusung akidah tauhid dan konsep moral, fiqh juqa merupakan bidang pokok dalam Islam meskipun istilah Fiqh belum muncul pada masa Nabi Muhammad dan para sahabatnya. Tetapi tidak bermakna kita mengatakan aktiviti kehidupan pada masa itu adalah kehidupan yang tidak ideal menurut Fiqh. Ini perlu difahami terlebih dahulu agar tidak berlaku kekeliruan dalam memahami apa yang akan diperbincangkan.
A. Ibnu Taimiyyah dengan Metodologi nya Dalam Memahami Al-Qur'an
Kenapa kita mengawali dengan maudhu' ini?. Karena maudhu' ini adalah sebuah metode dalam penafsiran Al-Qur'an yang dipakai oleh beliau sebagai titik tolak atau dasar dalam mengemukakan pendapat-pendapat beliau mengenai sifat-sifat Allah, akidah, fiqh dan semua hal yang berhubungan dengam pemikiran Islam.
Di sini kita akan memperbincangkan sebahagian daripada metode pemikiran serta pendapat-pendapat beliau secara peribadi dan daipada sini kita akan menemukan bahawa corak pemikiran tokoh agama sama seperti ulama-ulama yang berada atas manhaj salaf. Catatan pertama yang perlu kita garis bawahi, bahwasanya dalam metod pemikiran sebagai berikut1:
Beliau merungkaikan dalam tiga topic asas sebagai berikut1:
a. Penafsiran Al-Qur'an dengan Sunnah Rasulullah SAW.
b. Penafsiran Al-Qur'an yang dirangkai oleh para sahabat.
c. Penafsiran Al-Qur'an yang dirangkai oleh para Tabi'in.
Penafsiran Al-Qur'an dengan Sunnah Rasulullah SAW. Beliau beralasan dengan keyakinan bahwasanya Nabi telah menjelaskan semua isi yang terkandung daripada Al-Qur'an itu sendiri. Beliau tidak meninggalkan sedikitpun ayat-ayat yang memerlukan penjelasan dan perincian dan tidak pula Ayat yang Mujmal (umum) yang perlu dibatasi dan tidak pula Ayat yang Musytarok (Bersekutu) yang perlu dijelaskan. Dan keyakinan tersebut bagi beliau (Ibnu Taimiyah) adalah sebahagian daripada iman kepada Al-Qur'an atau apa yang datang dari Nabi Muhammad SAW sebagaimana Firman Alloh dalam Surat An-Nahl yang bererti "Supaya kamu (Muhammad) menerangkan pada umat manusia apa yang di turunkan pada mereka.2
Penafsiran Al-Qur'an yang telah dirumuskan oleh para Sahabat karena merekalah orang-orang yang bertemu secara langsung dengan Nabi. Nabi mengajari Al-Qur'an dan apa yang terkandung di dalamnya seperti masalah Akidah, Sosial, Hukum, makna dan lafaz-lafaz yang terkandung di dalamnya. Beliau juga yakin bahwa para sahabat belajar Al-Qur'an beserta denga makna yang terkandung di dalamnya dan jikalau mereka hafal Al-Qur'an maka dapat dipastikan pula telah hafal makna-maknanya sekali.
Penafsiran Al-Qur'an oleh para Tabi'in iaitu generasi setelah Sahabat yang masih diakui keoriginalannya sebagaimana yang di riwayatklan oleh Mujahit (Tabi'in), "Saya belajar Al-Qur'an dari Ibnu Abbas, saya selalu bertanya pada tiap-tiap ayatnya.” Oleh karena hal ini, mereka para imam mazhab menggunakannya sebagai rujukan seperti Imam Syafie, Bukhari, Ahmad Bin Hambal dan lain sebagainya.Maka dari sinilah Ibnu Taimiyah berkeyakinan bahwa penafsiran Al-Qur'an telah sempurna. Mereka tidak meninggalkan pemahaman sedikitpun yang masih perlu untuk di tafsirkan.
B. Ibnu Taimiyah Tidak Ta'asub Pada Salah Satu Madzhab
Beliau menghargai dan memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada para Imam Mazhab dalam berbagai upayanya berijtihad mentransformasikan perintah-perintah dan larangan-larangan Allah yang selanjutnya terangkum dalam berbagai disiplin ilmu keislaman yang mereka pelajari dan teliti melalui beberapa pencarian secara bersungguh-sungguh yang hasil daripada kajian tersebut telah diakui oleh para 'Ulama' sebagai sebuah hasil karya yang memang pantas untuk di pertanggungjawabkan. Walaupun demikian, beliau tidak Ta'asub pada mereka dengan memberikan seluas-luasnya pintu berijtihad jikalau memang dipandang masih ada kebenaran yang perlu untuk digali dan dirungkai yang tentunya hal tersebut memerlukan sebuah disiplin ilmu yang tidak sedikit3. Dari sini timbul sebuah tanda tanya mengapa beliau tidak Ta'asub dan beliau lebih mengutamakan pendapatnya Imam Ahmad Bin Hambal. Beliau lebih mengutamakan pendapatnya Imam Ahmad Bin Hambal daripada pendapat para Imam lainnya karena pandapatnya lebih dekat Sunnah.
Beliau pantas disebut sebagai Pioneer yakni pelopor pencari Syari'at Islam yang hakiki. Beliau tidak membentuk orang untuk berta'asub sekalipun ia hidup di sisi seorang Imam yang termashur dan diakui keilmuannya. Oleh karena beliau tidak membentuk pencari kebenaran untuk ta'asub dengan mengikuti salah satu dari beberapa mazhab selama kebenaran di pandang masih ada pada madzhab yang lainnya.
Dalam hal ini Beliau berkata : Kebanyakan manusia bahwa tumbuh kembang mereka menurut pada keyakinan bapa mereka atau tuan mereka atau lingkungan tempat tinggal mereka sebagaimana seorang anak kecil yang mengikut pada agama kedua orang tuanya ,tuannya dan penduduk sekitarnya. Kemudian jikalau ia telah meningkat dewasa (Baligh), maka wajib baginya menjalankan perintah Allah SWT dan Rasul-Nya di manapun dia berada dan seharusnya dia tidak termasuk dalam golongan orang–orang yang jika di katakan pada mereka ikuti dan laksanakan apa yang di turunkan (perintahkan) oleh Allah SWT. Tetapi mereka berkata kami hanya mengikuti apa yang kami dapati dari nenek moyang kami. Maka barang siapa menyimpang daripada mengikuti Al-Qur'an dan Al-Hadits dan ta'at kepada Allah dan Rasul-Nya dengan mengikuti kemahuan diri sendiri ,bapa atau penduduk sekitarnya. Maka dia termasuk dalam golongan kaum jahiliyyah dan begitu juga seseorang yang sudah dihadapkan padanya suatu masalah hak dari beberapa masalah yang hakiki yang telah diperintahkan oleh Allah melalui Rasul-Nya kemudian dia berpaling daripadanya kepada kemahuannya sendiri maka dia termasuk daripada orang-orang yang tercela.4
Dari sini jelaslah menunjukkan apakah beliau menyuruh semua orang untuk meninggalkan madzhab yang dianuti oleh mereka. Tetapi menurut beliau peluang untuk menelusuri sebuah kabenaran berkemungkinan berada pada madzhab lain sekalipun orang tersebut tidak memiliki peringkat ilmu yang memenuhi sebuah persyaratan dalam menggunakan sebuah Dalil.Maka dalam hal ini Ibnu Taimiyah membahagi manusia kedalam TIGA golongan5 :
1. Orang yang sudah jelas-jelas mengetahui keunggulan dan keutamaan daripada pendapat lain selain Imam Madzhab mereka iaitu dengan mengetahuinya Dalil-dalil secara terperinci, mengetahui yang lebih tepat daripada yang tepat dan dia memiliki penunjuk yang betul dengan mengetahui Hukum-hukum daripada Nas-nas Al-Qur'an dan Al-Hadits. Maka dari hal inilah sudah bagi seseorang tersebut mengikuti yang lebih Hakiki sebagaimana Firman Allah SWT dalam Surat An-Nisa' Ayat 65 yang berbunyi :"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu Hakim dalam perkara yang kamu perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan ,dan mereka menerima dengan sepenuhnya. Dan didukung juga dengan Firman Allah dalam Surat Al-Ahzab Ayat 36 yang bererti: " Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang Mukmin dan pula bagi perempuan yang Mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan ,akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.6
Bertolak dari hal tersebut di atas, jika seseorang sudah dianggap mampu dalam menggunakan sebuah Dalil dan mengetahui kebenaran pada Madzhab lain maka wajib baginya untuk mengikutinya.
2. Orang yang tidak memiliki kemampuan dalam menggali Hukum-hukum Syar'ie. Maka orang ini tidak mengikut Dalil tetapi mengittiba' pada orang yang soleh, mujtahid sekaligus Imam. Ibnu Taimiyah dalam hal ini berkata : Oleh karena banyak Hukum-hukum yang tidak diketahui oleh manusia, maka hendaklah manusia merujuk kepada Alim 'Ulama' karena mereka lebih mengerti apa yang dikatakan dan dimaksudkan oleh Rasul. Oleh karena para Imam Mazhab yang mereka ikuti adalah perantara jalan atau petunjuk antara umat Islam dan Rasulnya. Mereka adalah penyampai apa yang di katakana Rasul.
3.Orang yang berpindah dari satu mazhab ke mazhab lain tanpa disertai Dalil. Padahal mereka ahli dalam menggunakan Dalil. Serta mereka melaksanakannya tanpa adanya halangan yang Syar'ie dengan menganggap mudah masalah tersebut.
C. Mengutamakan Hadits daripada Madzhab
Ibnu Taimiyah meninggalkan madzhab untuk mempertahankan Hadits dan berkata: Bahwasanya orang yang percaya ketulenan Hadits maka dia wajib mengambilnya sebagaimana Firman Allah SWT dalam Surat An-Nisa' Ayat 59 yang berarti: Jikalau kamu berlainan pendapat tentang sesuatu hal, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul-Nya (Sunnah).
Maka dari hal di atas tidak wajib bagi seseorang untuk ta'asub pada salah satu mazhab kecuali Sunnah Rasul SAW. Para "Ulama' Salafussoleh sejak zaman para Sahabat sampai pada masa para Imam Mujtahid menganggap pandapat seseorang itu sah,jika pendapatnya sesuai dengan Sunnah Rasul SAW. Ada sebuah riwayat yang menyatakan bahwasanya Ibnu Abbas berdiskusi serta membahas masalah "Nikah Mut'ah" yang di Da'wahkan hal tersebut pernah diperbolehkan dalam islam dan di katakana kepadanya bahwasanya Abu Bakar dan Umar telah menghukuminya tidak sah7.
D. Kaedah-Kaedah Manhaj Salafi Dalam Pemikiran Islam
Menurut sejarah yang dimaksudkan dengan Salafi adalah para Sahabat dan para Tabi'in sampai pada awal-awal abad ketiga Hijriyah. Mazhab Salaf sebagai suatu disiplin ilmu yang dianuti oleh umat Islam pada waktu itu. Di antara Imam Madzhab tersebut adalah Sofyan Al-Tsauri, Lais Bin Sa'd, Abdulloh Bin Mubarak, Imam Bukhari, Imam Muslim dan sebagainya. Mazhab tersebut dianut dari generasi ke generasi tanpa menimbulkan suatu Bid'ah sebagaimana yang di lakukan oleh kaum Khawarij, Syi'ah, Murji'ah, Qadariyah, Mu'tazilah dan lain sebagaimya8. Munculnya istilah Salaf berawal dari adanya pertentangan mengenai masalah Ushul Al-Din (pokok-pokok Agama). Antara golongan ahli kalam dan golongan Asosiasi 'ulama' Al-Soleh, di antara pegangan Quwa'id 'ulama Salaf Al-Soleh sebagai berikut :
1. Mendahulukan Syara' daripada Akal
Kaedah inilah yang pertama kali menjadi panduan dan pedoman mereka di dalam memahami dan menafsirkan Al-Qur'an. Misalnya dalam masalah ketuhanan, mereka tidak memberatinya. Mereka mengartikan Al-Qur'an secara zahir. Mereka lebih mengutamakan Al-Qur'an dan Al-Hadits kemudian pendapat para Sahabat (karena wahyu turun pada masa-masa mereka). Maka secara automatiknya mereka lebih tahu Ta'wilnya daripada para 'Ulama' pada masa-masa berikutnya. Mereka semua lebih serasi danmemahami dalam masalah-masalah keagamaan. Oleh karena itu Bid'ah tidak berlaku pada masa mereka9.
Maka dari sini menampakkan ciri-ciri pengikut Salafi,mereka adalah ahli Hadits, Khufad, Ahli meriwayatkan Hadits dan lain sebagainya. Sebagaimana mereka kutip dalam Al-Qur'an Surat Al-Nisa' Ayat 115 ,yang bererti lebih kurang sebagai berikut :Dan barang siapa tidak mengikuti jalannya orang-orang Mu'mi , kami biarkan ia berleluasa dengan kesesatan yang telah d kuasainya itu, kami masukkan mereka kedalam jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali10.
Mereka mengatakan berbeda dengan Ahli Kalam dalam masalah Syara' dengan menundukkan dan memposisikan akal di bawah Syara'. Mereka lebih mengutamakan riwayah daripada kepandaian dan rabaan akal. Maka dari sini sudah jelas bahawa dasar akidah mereka dalam Iman kepada sifat-sifat dan nama-nama Allah SWT tanpa adanya penambahan dan pengurangan dan tidak mahu menakwilkan apa-apa yang sudah jelas bagi mereka.
2. Menolak Ta'wil
Ta'wil menurut 'Ulama' kalam secara umum adalah suatu metod pengambilan Hukum dengan mengedepankan akal atas Syara'.11 Jikalau ada pertentangan antara keduanya dalam mena'wilkan Nas, mereka lebih mengutamakan akal. Akan tetapi Salaf sebaliknya. Sebagaimana kenyataan yang dikemukakan Syaikhul Al-Islam : Gunakanlah Hukum-hukum Ayat Al-Qur'an dan Al-hadits12. Menurut Dr. Ghomrowi , : Akal lemah untuk mengerti dan memahami kebenaran-kebenaran yang di paparkan Agama , karena agama bersumber dari pencipta semua makhluk semesta alam.13
E. Penggunaan Ayat-Ayat Al-Qur'an Sebagai Dalil
Al-Qur'an memiliki Thorikoh dalam penggunaan Dalil. Di antaranya menganjurkan manusia untuk melihat dan menyaksikan ciptaan tuhan yang begitu besar yang berupa Langit dan Bumi beserta isinya dan juga menganjurkan serta mendorong untuk membuka rahsia-rahsia menakjubkan penciptaan Makhluk yang tiada lain penciptanya hanya Allah SWT semata. Kemudian daripada itu anjuran memuliakan 'Ilmu dan 'Ulama'. Pada awal-awal masa sejarah pemikiran Islam para pengkaji keislaman tidaklah lebih berleluasa kecuali hanya tetap berpegangan pada Al-Qur'an dan Sunnah dalam pengambilan Dalil dan petunjuk dalam berbagai permasalahan kehidupan mereka sehari-hari dan mereka telah tenggelam dan terfokus dalam bacaan dan hafalan serta menekuni penafsiran secara zahir dan mempraktikkan hukum –hukumnya. Selain daripada itu mereka menggali dan mempergunakannya (Ayat – Ayat Al-Qur'an) melalui kaedah-kaedah cara pandang akal dan mengambil daripadanya gambaran hakikat alam Ghoib14.
Tidak ada satu permasalahan pun dari masalah-masalah Kalam dan Falsafah yang mereka bicarakan pada masa itu sebagaimana di tuturkan Syaikh Al-Islam. Semuanya telah dijelaskan dalam Al-Qur'an dan Al-Qur'an pun telah memberikan ketetapan, penjelasan tentang Zat Allah dan Sifat-sifat-Nya serta masalah-masalah Tauhid, Kenabian, Hari Akhirat, manusia dan awal mula penciptaannya, Takdir, sejarah para Nabi, sejarah manusia, kepastian adanya Alam Ghaib seperti Malaikat dan Jin. Akhirat dan lain sebagainya sebagaimana diterangkan dalam Firman Allah SWT yang berarti : Sesungguhnya dari penciptaan Langit dan Bumi, silih bergantinya malam dan siang , bahtera yang berlayar di Laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air Dia hidupkan bumi sesudah mati (keringnya) dan Dia sebarkan di Bumi itu segala jenis haiwan serta pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara Langit dan Bumi. Sungguh (terdapat) tanda-tanda (keEsaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan15.
F. Usul Fiqh
Sudah merupakan keharusan bagi para Imam Mazhab Usul sebagai Maraji' dalam menggali Hukum- hukum Syar'ie. Begitupun Imam Ibnu Taimiyah memiliki sebuah mazhab yang sudah banyak dikenal seperti yang lainnya. Akan tetapi ijtihad yang di lakukan oleh beliau lebih cenderung pada ijtihad yang di \lakukan oleh Imam Hambali. Oleh kerena itu Usul Fiqhnya secara global lebih cederung dengan Usulnya Imam Ahmad Bin Hambal16 . Menurut Abu Abdillah Muhammad bin Abu Bakar, yang lebih dikenali dengan sebutan Ibnu Al-Qoyyim (Wafat tahun 751H) ada lima usul yang dipakai oleh Imam Ahmad Bin Hambal dalam Fiqh dan fatwa-fatwa nya. Di antara Usul-usul tersebut adalah17:
1. Nas (Al-Qur'an dan Al-Hadits)
2. Ijma' (Fatwa-fatwa Sahabat)
3. Jika para Sahabat berbeda dalam pendapatnya, maka beliau lebih memilih pendapat yang lebih dekat dengan Al-Qur'an dan Al-Hadits.
4. Hadits Mursal.
5. Qiyas.
Kita tidak akan membahas lebih jauh Usul yang dipakai oleh Imam Ahmad Bin Hambal, tetapi akan lebih kita fokuskan pada Usul Ibnu Taimiyah. Di antara usul beliau adalah sebagai berikut :
'
1. Kitab dan Sunnah.
Tidak ada keraguan bagi umat Islam bahwasanya Al-Qur'an adalah pedoman pertama
bagi mereka yang mencakupi Akidah , Syari'at , Akhlak dan lain sebagainya. Dan adapun Sunnah adalah pedoman kedua setelah Al-Qur'an. Dalam hal ini beliau membahagilan Sunnah menjadi tiga bahagian18 :
'
Sunnah Yang Mutawatir. Iaitu Sunnah yang menafsiri Al-Qur'an secara zahir, jumlah solat lima waktu sehari semalam, jumlah rakaatnya, ukuran nisab zakat pada jenis harta yang berbeda, manasik Haji dan Umrah beserta tata-cara pelaksanaannya dan lain sebagainya.
'
Sunnah yang tidak menafsirkan Al-Qur'an dan juga tidak bertentangan dengan zahirnya. Akan tetapi datang dengan hukum baru, misalnya kadar nisab daripada pencuri, rejam bagi penzina dan hukum-hukum lain yang tidak dinas secara terperinci dalam Al-Qur'an.
'
Hadits Ahad yang sampai pada kita melalui riwayat yang tsiqoh dan bisa di terima. Ibnu Taimiyah menjadikan Hujjah dan Dasar daripada Ushul Fiqh dan wajib mendahulukannya daripada sumber-sumber lain yang datang setelahnya. Pendapat ini juga didukung oleh Ahli Ilmi yang diantaranya Ahli Fiqh, Hadits, Tasawuf dan lain sebagainya dan hal tesebut di ingkari oleh Ahli Kalam Dan Ahli Ro'yi19
2. Ijma'
Ijma' adalah sebuah cara dari beberapa cara mengambil Hukum-hukum Syar'ie dan posisinya setelah Kitab dan Sunnah. Ijma' merupakan kesepakatan majoriti para 'Ulama' dalam mengambil suatu Hukum yang mana Ijma' tersebut di awali oleh generasi para Sahabat, Tabi'in, serta generasi setelahnya. Di samping itu Ibnu Taimiyah menulis dalam Risalahnya tentang Mu'jizat dan Karomah; Dalam hal ini para ahli Ilmi berbeda pendapat tenang masalah Ijma' baru pada masa setelah masa Sahabat dalam berbagai permasalahan, seperti Ijma' nya para Tabi'in atas salah satu pendapatnya Sahabat dan Ijma' yang tidak musnah pada masanya sehingga sampai pada adanya perbedaan di antara mereka dan lain sebagainya20 .
Sebagaimana beliau masukkan dalam salah satu Fatwanya: " Makna daripada Ijma' adalah kesepakatan majoriti daripada 'Ulama' Islam atas suatu Hukum dari beberapa Hukum Agama, dan apabila Hukum-hukum tersebut telah di sepakati maka tidak ada dari salah satu mereka keluar daripada kenyataan yang mereka sepakati karena mereka tidak bersepakat dalam hal kesesatan. Akan tetapi masih adanya masalah-masalah yang disangka oleh Umat adalah Ijma' ternyata bukan begitu pula sebaliknya. Bahkan pendapat lain (selain Ijma') dianggap lebih unggul dalam pandangan Kitab dan Sunnah .
Dengan melihat dan memperhatikan huraian diatas, sudah semestinya Ijma' di jadikan Hujjah dan dasar daripada Usul Fiqh dan hal itu karena segala apa yang di sepakati oleh majoriti 'Ulama' mengenai Hukum-hukum Fiqh telah di Nas oleh Rasul SAW dan hal tersebut telah di jelaskan dalam Haditsnya. Akan tetapi hanya saja terkadang di ragukan oleh sebagian Umat. Maka dari itu Ijma' sebagai petunjuk daripada keutamaan pesanan tersebut dan oleh karena tidak adanya permasalahan – permasalahan yang telah disepakati keluar daripada Nas .
3.Qiyas
Sebagai salah satu landasan Hukum Islam. Qiyas menempati posisi setelah Ijma'. Akan tetapi Qiyas yang Sahih saja yang bisa dikatakan sejalan dengan Nas. Akibat daripada pengguanaan Qiyas sebagai Hujjah oleh sebahagian Sahabat , Rasulullah SAW telah menetapkan orang yang pertama kali dalam hidup beliau atas penerapan Qiyas dan hal itu sebagaimana dilaksanakan oleh Mu'az Bin Jabal ketika Rasul ingin mengutusnya ke Yaman dan Rasul bertanya : "Bagaimana kamu memutuskan suatu Hukum jika kamu di hadap pada suatu permasalahan21 "
Dan oleh karena sebaahgian Sahabat mengamalkan Qiyas , Ibnu Taimiyah berkata:, Dan telah diriwayatkan dari Ali dan Zaid bahwasanya mereka berdua menggunakan Qiyas. Maka barang siapa menyangka menyangka kesepakatan mereka meninggalkan penggunaan pendapat Qiyas, maka sangkaan mereka tidak benar. Dan barang siapa menyangka bahwasanya Qiyas termasuk daripada permasalahan yang tidak mereka (Ali dan Zaid ) bicarakan dan bahas kecuali dengan pendapat dan qiyas. Prasangka mereka telah salah. Akan tetapi mereka membicarakan dan membahasnya dengan didukung pengetahuan mereka ) sampai pada akhir ucapan beliau. Qiyas yang di anggap (dijadikan pedoman Hukum) oleh Imam Ibnu Taimiyah adalah Qiyas Sahih bukan Qiyas Fasiq yang sesuai dengan syari'at Allah SWT dan Rasul-Nya. Syari'at ini adalah Syari'at yang di sepakati dalam Hukum antara dua permasalahan yang sama. Memisahkan antara dua perbedaan dan hal itu tiada lain dengan mengqiyaskan dua hal yang sama dalam Illah (alasan ) bukan perbedaannya .
artikel blog : http://opalotus99.blogspot.com/
No comments:
Post a Comment